Hari ini adalah hari yang begitu tidak menyenangkan bagi saya pribadi. Seolah pepohonan menertawakan, ibarat tanah menjauhkan. Tapi apa yang saya rasakan tidaklah mungkin semuanya akan saya ungkap kan disini. Ini bukanlah sebuah diary.
Sudah begitu lama tidak menulis. Menulis mungkin tidak mesti untuk hal yang begitu bermanfaat. Setidaknya apa yang kita ingin sampaikan dapat kita keluarkan tanpa harus berdebat dengan orang lain, meski itu bertentangan dengan norma. Mungkin ini terdengar begitu liberal dan sekuler, seperti kebudayaan di eropa sana yang sangat menghargai pendapat, meski pendapat itu sudah nyata salah, namun mereka membela hak orang untuk menyampaikan apa yang mereka fikirkan.
Sebenarnya tidak ada hal penting yang ingin saya tuliskan disini. Dari pada bengong sendiri di kamar, mending saya nulis sedikit lah.
Beberapa bulan yang lalu kebetulan ikut lomba puisi di kampus, dari salah satu organisasasi lokal di sumsel. Jarang jarang sih sebenarnya ikut lomba dalam bentuk apapun, namun pada saat itu iseng-iseng nyoba dan siapa tau kepilih jadi pemenang. Tapi sepertinya tidak semudah yang dibayangkan. Bahkan muncul sikap jengkel dengan itu panitia lomba, karena sudah berminggu-minggu pengunguman pemenang pun tidak terlihat di group social media atau penguguman lainnya.
Dari pada itu puisi cuman ketulis di lomba itu mending saya tulis juga disini.
Pusinya adalah tentang sumpah pemuda dan kepahlawanan. pusi yang diikut sertakan ke lomba. Tidak bagus sih, ini lah dia.
Puisi Pertama :
Judul : Teguran Pemuda Lama
Oleh : Faris Irfan
Kau kata kau pejuang
Berbangga diri menggunakan lambing institusi
Berkoar koar menantang sang pengatur
Takkan ada gunanya membusungkan dada
Seolah-olah tanpamu dunia tak kan berubah
Dan tahukah? Kau sungguh berbangga dengan title Maha
Sadari hatimu, kau bahkan tak peduli dengan sebuah masa lalu
Ingatkah kau akan kami?
Yang peluru bahkan tak kuasa merembes tulangku
Bahkan artileri tak sanggup meluluhkan tubuhku
Tiada mengenal angkuh, hanya sebuah kejayaan
Juga cinta tanah air yang mendalam
Sekali-kali tanyalah...
17 tahun bukanlah penantian yang singkat!
Puisi Kedua :
Judul : Tanah Negeri yang Wangi
Oleh : Faris Irfan
Bukanlah sebuah ukiran kasar
Kurunglah dia dalam semayam kekar
Meski bisik berusaha meraih
Tetaplah dekap meski dinginnya malam
Tegap hangat dalam makna janji
Dahulu berdiri
Meronta dalam sukma suci
Gemuruh pun menggetarkan
Enyahlah kacung yang haus darah
Tusuklah hatiku sampai berdarah
Agar ku mati di tanah yang wangi
Kibarlah sang bendera
Bahkan darahku tak mampu melukis merahnya
Harap aku mati dalam dekap ini
Puisi Ketiga :
Judul : Bisikkan Aku
Oleh : Faris Irfan
Bisikkan aku akan sebuah makna
Biar ku tahu apa artinya negeri
Ingin ku tegar dalam tanah yang terjajah
Bisikkan aku akan sebuah makna
Dimana batu takkan mampu memecahkan
Serta air tak kuasa menenggelamkan
Bisikkan aku akan sebuah makna
Biar ku tahu dengan tanah yang kaya
Ingin ku tenang akan luasnya diskriminasi
Bisikkan aku dengan berbagai tanya
Dimanakah sekarang aku berada
Biar ku jelaskan pada keturunanku
Akankah mereka hanyut dalam buai mimpi
Bisikkan aku dengan makna cinta
Agar ku perbaiki tatanan ini
Beri aku kekuasaan wahai Penguasa
Tuntunlah daku untuk memperbaiki
Sekian saja.