@Sampoerna Corner, Unsri |
Upaya pencerdasan merupakan adalah salah satu tujuan negara sebagaimana telah dicantumkan oleh para pendiri "ibu pertiwi" ini pada pembukaan UUD 1945. Namun pencerdasan ini tidak dapat dilakukan oleh satu pihak saja, uluran tangan oleh masyarakat salah satunya adalah para aktivis pendidikan adalah hal yang dibutuhkan oleh generasi muda disana, khususnya untuk daerah-daerah yang sulit terjamah. Hal ini menimbulkan kesadaran(aware) saya akan situasi seperti ini sewaktu mengikuti salah satu talkshow dengan tema "Mecerdaskan anak bangsa"(13-05-2014). Dimana pembicara pada kegiatan ini merupakan penggiat rumah baca untuk daerah daerah yang minim minat baca dan terpencil;
1. Hj. Ratna Dewi, M.M., M.Pd (Pendiri Taman Baca Masyarakat(TBM) Tabuki Jayanti), Palembang
2. Achmad Subhan, SIP, MIP (Penggiat Komunitas Perpustakaan/Peneliti Multatuli, Lebak Banten)
Salah satu hal yang menarik dari kegiatan ini adalah perjuangan yang para pembicara lalui demi terwujudnya masyarakat agar sadar akan pengntingnya membaca, terkhusus untuk anak-anak di bangku sekolahan.
Cerita menarik disampaikan oleh Achmad Subhan dalam kegiatan tersebut tentang tradisi masyarakat pada kampung Ciseel tempat TBM Multatuli, dimana pada permulaan bulan ramadhan pada agen-agen dari kota mencari pelajar-pelajar muda dari kampung Ciseel untuk dibawa ke kota sebagai pegawai rumah tangga atau biasa disebut dengan PRT. Para pelajar muda yang berpindah ke kota untuk mencari penghasilan tersebut sering disebut "terbawa kardus". Sungguh sangat disayangkan pendidikan mereka terhenti karena dituntut untuk bekerja dan membantu keluarga. Namun, semua berubah setelah dibukanya TBM Multatuli oleh Ubaidillah Muchtar, seorang guru SMPN satu atap 3 Sobang, disebut satu atap karena kelas vii,viii, serta ix pada SMPN tersebut berada dalam satu atap atau bisa dikatakan satu kelas untuk satu tingkatan. Untuk sampai pada daerah Ciseel sendiri membutuhkan waktu berjam-jam untuk berjalan setapak karena medan yang dilui sangat sulit. Melihat medan yang digambarkan dalam slide pembicara menggambarkan betapa beratnya perjuangan yang mereka lakukan untuk upaya memberikan pendidikan untuk para pelajar pada kawasan Ciseel tersebut.
Sungguh unik, kegiatan membaca pada TBM Multatuli adalah membaca novel Max Havelaar karya Eduard Douwes Dekker adalah salah satu rutinitas wajib pada anak-anak dikawasan tersebut. Max Havelaar (diterbitkan pertama kali pada 1860) merupakan novel yang menceritakan mengenai relita penjajahan oleh kolonial belanda/nasib buruk masyarakat yang dijajah pada zaman itu, bahkan buku tersebut merupakan buku kelas dunia dan telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa. Para anak-anak di kawasan tersebut didik untuk sadar akan sejarah dan perjuangan serta penderitaan masyarakat pada zaman terdahulu. Sembari membaca, para anak-anak ditanamkan paham akan perjuangan dan kebudayaan.
Semenjak berdirinya TBM Multatuli sebagaimana diceritakan pembicara tersebut maka masyarakat disana semakin sadar akan pentingnya belajar dan pelajar yang putus sekolah pun berkurang. Niat belajar dan kesadaran akan pendidikan meningkat.
Upaya yang dilakukan oleh kedua pembicara tersebut sangat kontributif bagi pendidikan di Indonesia. Semoga suatu saat saya dapat berkontribusi juga dalam hal mencerdaskan anak bangsa sebagaimana yang telah diupayakan oleh kedua inspirator tersebut.
Ada salah satu perkataan bagus yang saya kutip dari pembicara saat itu "Revolusioner tidak harus memecahkan kaca, atau membakar ban. Revolusi dapat dimulai dari diri sendiri untuk memulai hal yang baru"(Subhan).
aku ijin copy ya kak
ReplyDeletemobil komatsu